Ya, benar sekali. Khalid bin Walid adalah salah seorang Shahabat Rasululah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam. Sebagaimana ditulis oleh Manshur Abdhul Hakim, nasab Khalid bin Walid bertemu dengan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam. Yakni Khalid bin Walid bin Mughirah bin Abdullah bin Umar bin Makhzum bin Yaqzhah bin Murrah (Manshur Abdul Hakim, Khalid bin Walid). Nah nasab mereka berdua bertemu di Murrah. Ibunya bernama Lubabah Ash-Sughra binti Al-Harits.
Sebagaimana para shahabat Rasulullah yang mulia, Khalid bin Walid juga mempunyai gelar tersendiri.
Tahukah kalian apa gelar yang disematkan kepada shahabat Rasulullah yang lahir di Makkah ini ?
Khalid bin Walid bergelar Saifullah Al-Maslul, yang artinya pedang Allah yang terhunus. Gelar ini dibuktikan dengan menangnya Khalid dalam setiap perang yang ia pimpin. Baik sebelum ia masuk Islam maupun setelah ia berislam. Seperti saat kaum muslimin kalah dalam perang Uhud, sebenarnya pemimpin dari musuh, yakni kaum Quraisy adalah Khalid bin Walid. Ia juga terjun dalam perang Badar dan Perang Khandaq, berada dalam barisan kaum musyrikin.
Disini saya tidak akan membahas begitu tangguhnya Khalid bin walid di medan perang, karena gelar yang tersematkan padanya sudah cukup mewakilinya ketangguhannya di medan perang. Juga saya tidak akan menyebutkan perang apa saja yang telah dimenangkannya.
Bukan itu. Di sini saya akan mengajak saudara sekalian untuk belajar kelegowohan dari seorang panglima perang yang tak terkalahkan. Hampir seumur hidupnya ia tak pernah mengalami kekalahan. Sampai-sampai Abu Bakar berujar, “Para wanita tidak akan bisa lagi melahirkan sosok seperti Khalid.”
Saudara sekalian tentu mengenal Khulafaur Rasyidin yang pertama, yakni Abu Bakar Ash-Shiddiq. Sebelum beliau meninggal, ia mencalonkan Umar bin Al-Khaththab sebagai penggantinya. Dan yang menulis surat penetapan Umar ini adalah Utsman bin ‘Affan. Maka, ketika Abu Bakar wafat, surat penetapan Umar sebagai Khalifah dibacakan, ummat Islam pun berikrar mengakui dan menerima apa yang ditetapkan Abu Bakar. Resmilah Umar menjadi Kahlifah, dan kemudian bergelar Amirul Mukminin. (Manshur Abdul Hakim, Khalid bin Walid)
Saat itu, saat purnama Jumadil Akhir 13 H, di Lembah Yarmuk, suhu udara begitu dingin, bahkan dinginnya sampai mencucuk tulang. Kala itu pasukan kaum muslimin yang berjumlah sekitar 39.000 prajurit sedang berjaga-jaga, sebagian juga ada yang berada di dalam tenda. Nah di dalam sebuah tenda dari tenda-tenda yang ada, dua panglima Islam, Khalid bin Walid dan Abu Ubaidah sedang bertemu utusan Khalifah Umar bin Khaththab yang datang dari Madinah.
Utusan ini membawa tiga berita penting. Pertama, wafatnya Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq. Kedua, Umar bin Khaththab dibai’at sebagai penerusnya. Dan yang ketiga, Khalid bin Walid diberhentikan dari pimpinan umum pasukan, Umar menetapkan Abu Ubaidah bin Al-Jarrah sebagai penggantinya. (Hepi Andi Bastoni, Antara Umar bin Khaththab dan Khalid bin Walid) Dan ketiga berita ini tetap dirahasiakan hingga akhir pertempuran.
Perlu diketahui, Perang Yarmuk merupakan perang antara kaum muslimin melawan pasukan Romawi. Dimana perbandingan jumlah pasukannya sangat timpang. Pasukan Romawi dibawah komando Panglima Thedore berkekuatan 240.000 personil, sedangkan pasukan kaum muslimin hanya berjumlah 39.000 orang. Namun dengan strategi jitu Khalid bin Walid, atas izin Allah perang Yarmuk berakhir dengan kemenangan di tangan kaum muslimin.
Ketika diberhentikan oleh Umar bin Khaththab. Ternyata semangat Kahlid tidak pudar. Tahukah kalian apa yang dikatakan Khalid saat itu?
“Aku berjihad bukan karena Umar, tapi karena Tuhannya Umar, yakni Allah Ta’ala.” Di sinilah letak legowonya seorang Khalid bin Walid, seorang panglima perang tiada tanding. Karena akhirnya Khalid faham, apa alasan Umar dibalik pemberhentiannya sebagai panglima kaum muslimin.
Pemberhentian Khalid oleh Umar ini bukan tanpa pertimbangan. Keputusan Umar bukan karena dendam pribadi sebagaimana sering dituduhkan orang-orang orientalis. Saat menerima kota Al-Quds dari Uskup AgungShopornius, Umar berkata kepada Khalid, “Aku memecatmu bukan karena sangsi dengan kemampuanmu, tetapi khawatir orang terpesona sehingga mengultuskan kamu.” (Al-Bidayah wan Nihayah)
Dalam kalimat lain Umar juga mengatakan, “Aku memecat Khalid agar masyarakat tahu bahwa Allah membela agama-Nya bukan dengan Khalid.” Umar takut, kebesaran Khalid, kemenangannya yang gemilang, kepemimpinannya yang tak tergantikan bisa menjatuhkan orang pada pemujaan, takut orang-orang akan lupa bahwa yang memberikan karunia tersebut pada Khalid adalah Allah Azza wa Jalla, takut ummat Islam lupa akan firman Allah,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تَنْصُرُوا اللَّهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ (٧)
“Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (QS. Muhammad: 7)
Benar sekali. Pemberhentian Khalid menimbulkan gejolak dari para pengagumnya, terutama yang berasal dari Bani Makhzum, mereka menyebut pemberhentian Khalid ini adalah sebuah fitnah (bencana), bahkan mereka siap memberontak Khalifah Umar bin Khaththab. Terbuktilah kekhawatiran Umar, ummat Islam mulai mengultuskan Khalid. Namun Khalid melarang penyerangan itu, “Selama masih ada Umar, tak akan ada fitnah.” Ucap Khalid dengan tegas.
Masih adakah sosok yang seperti ini sekarang? Silahkan menjawab dalam hati masing-masing.
Tentu berbeda sekali dengan zaman sekarang bukan? Bisa kita lihat sendiri di negeri kita ini, Indonesia. Jika ada salah satu pejabat yang tiba-tiba diberhentikan dari jabatannya, maka sudah bisa dipastikan akan muncul berbagai macam pemberitaan. Apalagi si pejabat ini tanpa celah sedikitpun, maka media yang berada di belakangnya akan membela pejabat ini.
Kembali pada kisah Khalid. Kita akan melihat kembali kelegowohan Khalid bin Walid ketika menjelang ia wafat. Di hadapan keluarga dan sebagian para shahabat Rasulullah ia bertutur.
“Aku memang pernah merasa kesal terhadap Umar. Namun setelah kurenungi, Umar bertindak untuk kepentingan Allah. Apa yang ia perbuat terhadapku, juga lakukan terhadap orang yang lebih baik dariku. Ia mengambil sebagian hartaku lalu ia bagikan kepada ummat Islam. Ia juga melakukan hal itu kepada selainku, bahkan terhadap veteran Perang Badar. Ia bersikap keras kepadaku sebagaimana ia juga keras kepada orang lain. Umar jaga memecatku, tapi ia juga memecat orang lain yang lebih baik dariku, yakni Sa’ad bin Abi Waqqash. Ini yang menghilangkan kesalku.”
Bukti lain bahwa tidak ada dendam antara Umar dan Khalid, Khalid mewasiatkan agar hartanya, putri-putrinya dan janji-janjinya diserahkan kepada Umar. Nah di sisi lain, saat mendengar Khalid wafat, Umar termasuk orang yang sangat berduka, dan Umarlah yang tangisnya paling keras.
“Demi Allah,” kata Umar, “Aku memecatnya, sebab aku sangat mencintainya dan tak ingin ada kemudharatan disebabkan olehnya. Dan kini takkan ada lagi wanita Quraisy yang bisa melahirkan lelaki yang semisal Abu Sulaiman. Takkan ada lagi!”
Umar juga berkata, “Seandainya Khalid masih hidup, maka aku akan mengangkatnya sebagai Khalifah setelahku.” Hal ini disebutkan oleh Imam Adz-Dzahabi dalam Siyar A’lamin Nubala’.
Jabatan apapun yang sedang kita duduki bukanlah segalanya, bukanlah sesuatu yang terlalu penting untuk dikejar. Namun yang terpenting adalah bagaimana semangat kita untuk berjuang demi izzatul Islam dan kaum muslimin, berjabatan kah atau tidak berjabatan kah, semangat kita untuk li I’laai kalimatillah itu yang harus dipertahankan. Dari kelegowohan Khalid, kita belajar untuk mengedepankan kepentingan Islam. Bukan diri pribadi.
Allahu a’alm bish showab.
Posted by Mahrun Nisak