Ironis Sekali memang, Persoalan Akhlak, Moralitas atau etika khususnya dikalangan pemimpin memang satu masalah yang besar. Masalah ini bukan hanya mendera Indonesia, tapi hampir seluruh Komunitas manusia dunia. Ini bukan masalah yang baru, persoalan ini sudah mengakar ratusan tahun bahkan pada zaman imam ghazali sudah dijelaskan tentang hal ini bersamaan dengan solusinya.
Jika mau memandang yang lebih mendalam maka kita akan menemukan mata rantai keganasan yang mengancam eksistensi peradaban. Pemikir besar masa kini, Prof. Dr. Sayyid Naqib al-Attahas merumuskan ada tiga akar masalah umat Islam masa kini. Pertama, Masalah kekeliruan dalam memahami kerangka Keilmuan; Kedua, Hilangnya adab (lost of adab); Ketiga, Lahirnya pemimpin yang lalim. Maslaah pertama (salah memandang ilmu) akan melahirkan masalah kedua (Hilangnya adab). Masalah kedua melahirkan masalah ketiga (Pemimpin Lalim). Sedangkan masalah ketiga akan berputar melahirkan masalah pertama (Salah memahami ilmu). Begitulah perputaran yang tiada habisnya. Sehingga munculnya pemimpin tidak amanah itu bagian dari mata rantau kesalahan. Dia tidak berdiri sendiri tapi lahir dari kesalahan oriantasi ilmu dan hilangnya adab manusia.
Masalah ketidak amanahan karena tidak adanya akhlak atau adab. Para pejabat, baik dalam tataran lahir tapi rusak pada bidang batin. Mereka bertutur indah pada rakyat, salam sapa penuh kehangatan tapi menelikung dari dalam. Membuat kebijakan yang menguntungkan secara sepihak, baik untuk komunitasnya atau dirinya sendiri. Disinilah lahirnya korupsi dan berbagai kerusakan lainnya.
Dalam kajian keislaman, akhlak itu masuk dalam Ilmu tasawuf. Bagaimana orang dalam beramal harus ikhlas. Tidak menuntut balas budi kebijakan. Kalaulah para pejabat yang seharusnya melayani umat memiliki akhlak –baik pada Allah atau semesta- tentu tidak aka nada yang menyalah gunakan wewenang.
Salah satu pemimpin baik dalam peradaban adalah Shalahuddin al-Ayyubi, Beliau mengemban amanah rakyat sesuai prosedur, atau kalau dibumi Nusantara ada Raden Fatah. Beliay mengelola pemerintahan dengan adab dan arahan dari Dewan Ulama yang tergabung dalam jajaran Walisongo.
Salahuddin menjadi pemimpin agung bukan karena diri sendiri namun dibantu oleh pengabdi-pengabdi yang memiliki ilmu, kemampuan, semangat dan adab yang tinggi. Sehingga muncullah generasi Shalahuddinal-Ayyubi. Generasi ini muncul karena pengaruh kuat keilmuan imam Ghazali setelah melewati beberapa fase dibawah beliau.
Diantara data valid yang menguatkan tesis tersebut dari seorang ulama asal Yordania, Dr. Majid Irsan al-Kaylani telah menulis disertasi dengan tajuk “Hakadza Dzhahara jillu Shalahuddin” yang sudah diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia dan Melayu. Beliau mengkaji bagaimana muncul generasi shalahuddin.
Sebab Shalahuddin bukan suatu individu, Shalahuddin itu generasi. Kenapa demikian ? Karena ada yang menyokong, mendukung dan bersama-sama beliau.
Kalau dia seorang diri, dia tidak mungkin bias membebaskan Al-Aqsha. Jadi ada satu generasi yang sama0sama berjuang dan generasinya adalah produk ulama sebelum beliau. Maka siapa yang memberi kesan pada diri mereka ini ?
Pada sejarah kerajaan demak juga bias menjadi satu studi baiknya hubungan agama (baca:akhlak) dan Politik. Pada masa kerajaan Demak dibentuk Dewan Ulama sebagai Syura yang memberi pertimbangan dan masukan pada raja agar kebijakannya sesuai dengan jalan kebenaran. Selain itu, raja-raja baik dipusat atau kerajaan lain yang dibawah naungan demak harus cuti bersama pada hari jum’at.
Pada hari ini para raja harus mengikuti pengajaran spiritual berupa ibadah –terkhusus sholat jum’at dimesjid Agung- dan mengaji kepada para ulama. Sehingga dari waktu ke waktu bertambahlah wawasan mereka terhadap agama dan kehidupan.
Oleh Prof. Dr. Khalif Muammar A. Harris
Source : Majalah Langitan edisi 76 (November – Desember 2017)