Don't Miss
Home / Pemikiran Islam / Buya Hamka dan Fatwa Haram Rayakan Natal
Buya Hamka dan Fatwa Haram Rayakan Natal

Buya Hamka dan Fatwa Haram Rayakan Natal

OKTOBER lalu, missionaris Kristen menunjukkan aksinya yang sangat melukai hati umat Islam di Aceh Singkil. Mereka mendirikan gereja-gereja liar di daerah Serambi Makkah itu. Mereka telah melanggar dan mengkhianati kesepakatan antara Tokoh Islam dan Kristen pada 11 Juli 1979,  untuk tidak membangun gereja sebelum mendapat izin dari Pemerintah Daerah Tingkat II. (Hidayatullah.com, 19 Oktober 2015). Akibatnya umat Islam melakukan tindakan yang sama sekali tidak kita inginkan: membakar sebuah gereja.  Nyatalah bahwa pembakaran gereja tersebut adalah satu akibat dari satu sebab. Tak ada asap bila tak ada api. Apakah umat Islam hanya diam dan pasrah bila dikristenkan?

Aksi kristenisasi sesungguhnya bukanlah barang baru di Indonesia. Sejak masa penjajahan, para  negeri muslim terbesar di dunia ini dibidik sebagai sasaran empuk oleh Misi Kristen. Ketika penjajah Portugis berhasil menduduki Malaka, Panglima Perang Alfonso Dalbuquerque berpidato,

 “Adalah suatu pemujaan yang sangat suci dari kita untuk Tuhan dengan mengusir dan mengikis habis orang Arab dari negeri ini, dan dengan menghembus padam pelita pengikut Muhammad sehingga tidak akan ada lagi cahayanya di sini buat selama-lamanya,”Kemudian disambungnya,” Sebab saya yakin kalau perniagaan di Malaka ini telah kita rampas dari tangan kaum muslimin, habislah riwayat Kairo dan Mekkah, dan Venesia tidak akan dapat lagi berniaga rempah-rempah kalau tidak berhubungan dengan Portugis.” (Buya Hamka, 2002, Dari Hati ke Hati Tentang:Agama,Sosial-Budaya, Politik).

Orang-orang Portugis mengembangkan agama Kristen di Indonesia dengan penuh kekerasan karena berlandaskan jiwa pemberontakan dan permusuhan tradisional terhadap Islam. Bagi penjajah Portugis, semua umat Islam adalah musuh yang harus diperangi. Menjelang abad ke-16, orang-orang Portugis dan juga Spanyol sengaja datang ke berbagai pelosok dunia, antara lain untuk memerangi Islam dan menggantikannya dengan agama Kristen (Kata Pengantar Lukman Hakiem, 1991, Fakta dan Data Usaha-usaha Kristenisasi di Indonesia).

Penjajah Belanda juga sangat berambisi melakukan aksi kristenisasi. Alb C Kruyt (Tokoh Nederlands bijbelgenootschap) dan OJH Graaf van Limburg Stirum mengakui, “Bagaimanapun juga Islam harus dihadapi, karena semua yang menguntungkan Islam di Kepulauan ini akan merugikan kekuasaan pemerintah Hindia Belanda. Dalam hal ini diakui bahwa kristenisasi merupakan faktor penting dalam proses penjajahan dan zending Kristen merupakan rekan sepersekutuan bagi pemerintah kolonial, sehingga pemerintah akan membantu menghadapi setiap rintangan yang menghambat perluasan zending.” (Kata Pengantar Adian Husaini dalam Susiyanto, 2010, Strategi Misi Kristen Memisahkan Islam dan Jawa).

Pemerintah kolonial telah mencoba untuk mengatur perkawinan di masyarakat, yang secara langsung bersinggungan dengan umat Islam di Indonesia, sebagai mayoritas rakyat Indonesia.Pada tahun 1937, mereka mencoba mengajukan undang-undang perkawinan yang mewajibkan umat Islam untuk mencatatkan pernikahannya, dan mewajibkan monogami serta melarang suami menceraikan istri secara sepihak. Sontak undang-undang ini menuai reaksi keras dari umat Islam saat itu, sehingga pemerintah kolonial pun membatalkannya. Namun di lain sisi, sejak tahun 1933, pemerintah kolonial telah memberlakukan Undang-undang perkawinan untuk Kristen pribumi yang disebut HOCI (Huwelijkes Ordonnantie Christen Indonesiers), dan tetap dipertahankan oleh pemerintah Indonesia setelah merdeka (Mujiburrahman, 2006, Feeling Threatened: Muslim-Christian Realtions in Indonesia’s New Order).

Momentum kristenisasi di Indonesia terjadi ketika konflik besar ideologis antara Islam bersama kaum nasionalis melawan komunisme yang diwakili Partai Komunis Indonesia (PKI). Peningkatan konflik ini mampu ditangkap pihak gereja dengan menawarkan jaminan keselamatan politik bagi mereka yang menganut Kristen. Sebagaimana diungkapkan oleh Jeff Hammond, misionaris asal Amerika Serikat yang berkarya di Indonesia.

“Setelah peristiwa G30S/PKI, terjadi masa kairos (bahasa Yunani untuk waktu kesempatan) di Indonesia sehingga dalam enam tahun (1965-1971) ada lebih dari tujuh juta orang di pulau Jawa yang menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juru Selamat. Tuaian itu telah berjalan terus dan banyak gereja di mana-mana telah mengalami pertumbuhan yang luar biasa dan berbagai gerakan yang mulai lahir telah berdampk selama tahun 1970-1980-an.” (Jeff Hammond dalam Arif Wibowo, 2014 Kristenisasi Indonesia dari Masa ke Masa).

Aksi-aksi zending dan misi Kristen Barat kala itu dilakukan dengan memaksakan berbagai jalan serta tipu daya, seperti bujukan dengan uang dan harta, mulut manis, beras, gula-gula permen dan bonbon agar umat Islam menukar agamanya dengan agama Kristen (Buya Hamka, 2002, Dari Hati ke Hati Tentang:Agama,Sosial-Budaya, Politik). Ketegangan antar umat Islam dan umat Kristen pun akhirnya terjadi.

Di Makassar, seorang guru beragama Kristen di Sekolah Tinggi Ekonomi, Makassar, H.K. Mangunbahan (Mujiburrahman, 2006, Feeling Threatened: Muslim-Christian Realtions in Indonesia’s New Order), memuntahkan kata-kata nista kepada murid-muridnya yang mayoritas muslim. Di hadapan murid-muridnya yang mayoritas muslim itu, ia muntahkan kata-kata penuh kebencian.

“Nabi Muhammad adalah seorang pezina. Nabi Muhammad adalah seorang yang bodoh dan tolol, sebab dia tidak pandai menulis dan membaca.”Mendengar itu, meletuslah perasaan hati dan menaiklah darah murid-murid muslim tadi. Akibatnya, pada malam 1 Oktober 1967, beberapa gereja di Makassar dirusak dan dipecah kaca-kacanya oleh mereka (Buya Hamka, 2002, Dari Hati ke Hati Tentang:Agama,Sosial-Budaya, Politik).

Kala itu Pelajar Islam Indonesia (PII) berkumpul di depan Pusat Kesehatan Muhammadiyah Makassar. Di sana, PII membuat deklarasi yang menyatakan bahwa mereka siap mati sebagai syuhada demi membela Islam. Pada saat yang bersamaan, melalui stasiun radio HMI, pemimpin HMI, Jusuf Kalla ( yang sekarang menjadi Wakil Presiden RI), menginstruksikan semua anggota HMI dan organisasi muslim lainnya untuk datang ke daerah dekat masjid pada pukul 8 malam. Setelah shalat Isya, terjadi penyerangan oleh beberapa orang. Mereka mulai merusak beberapa bangunan kaum Kristen. Teriakkan“Allahu Akbar, belaa agamamu, jadilah syahid!”keluar dari pengeras suara masjid (Mujiburrahman, 2006, Feeling Threatened: Muslim-Christian Realtions in Indonesia’s New Order).

Setelah itu, barulah Dewan Gereja IndonesiaMakassar mengkonfirmasi bahwa pernyataan H.K. Mangunbahanadalah pernyataan pribadi (Mujiburrahman, 2006, Feeling Threatened: Muslim-Christian Realtions in Indonesia’s New Order) dan menyalahkan perbuatan oknum guru tersebut (Buya Hamka, 2002, Dari Hati ke Hati Tentang:Agama,Sosial-Budaya, Politik).

Berita pengrusakkan beberapa gereja di Makassar, tersiar sampai Jakarta. Di Jakarta, Tokoh Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia, M. Natsir, menilai aksi tersebut tidak baik dan tentu melukai kaum Kristen. Namun, Perdana Menteri pertama Indonesia itu menegaskan hendaknya persoalan ini tidak dilihat secara symptomatic approach, yaitu dengan hanya melayani gejala yang kelihatan.

“Ibarat orang yang sakit malaria, kepalanya panas lantas diberi kompres dengan es, tidaklah akan menghilangkan penyakit malaria itu. Harus dicari sebab hakiki dari penyakit itu sendiri. Karena panas kepala hanya suatu gejala dari orang yang sakit malaria. Islam punya kode yang positif tentang toleransi sesama beragama yang tidak perlu dikhawatirkan oleh orang beragama lain. Tetapi kalau pihak Kristen yang unggul dalam arti materiil dan intelektuil mengkristenkan orang-orang Islam, ini melahirkan satu ekses yang serius.” (M.Natsir, 1969, Islam dan Kristen di Indonesia).

Sahabat M.Natsir, Buya Hamka, juga turut menanggapi. Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertama itu menegaskan sesungguhnya tidak ada orang Islam yang menyukai pengrusakkan gereja. “Kalau merusak gereja memang ajaran Islam, lanjutnya, maka sudah lamalah beratus-ratus gereja di kota-kota yang mayoritas penduduknya muslim dan sadar akan agamanya, telah dirusak dan diruntuhkan orang. Namun kenyataannya berpuluh tahun sebelum anak-anak merusak gereja di Makassar itu, telah banyak gereja-gereja berdiri di tengah kota Makassar.” (Buya Hamka, 2002, Dari Hati ke Hati Tentang:Agama,Sosial-Budaya, Politik).

Apabila oknum guru tadi tidak memancing-mancing dengan menghina Nabi Muhammad SAW di depan murid-muridnya, maka tentu umat Islam tidak akan merusak gereja-gereja itu.

Selanjutnya aksi kristenisasi terjadi  di Meulaboh Aceh yang 100% penduduknya Islam. Kaum Kristen mendirikan gereja. Di Toba, mereka berpindah ke daerah kampung-kampung orang Islam, lalu mereka melepaskan babi dan membakar anjing untuk dimakan. Lantaran merasa jijik, orang Islam itu lari meninggalkan kampung halamannya. Akibatnya, langgar-langgar menjadi sepi, dan gereja-gereja banyak berdiri. Di Sumatera Barat, ratusan orang zending Kristen berkedok jadi penjual kain. Lalu terjadi kekacauan –kekacauan yang tidak diinginkan. Akhirnya, pemerintah daerah terpaksa mempersilahkan mereka pulang saja ke kampung halamannya.

Di Bukittinggi, dengan topeng mendirikan rumah sakit, mereka mempropagandakan agama Kristen. Masyarakat Bukittinggi yang dipimpin ninik-mamak dan ulama keberatan dengan hal itu. Kemudian menteri agama melarang pembangunan gereja di dalam rumah sakit itu demi menjaga keamanan. Setelah keluar larangan Menteri Agama, tiba-tiba dalam masa beberapa Minggu saja, keluarlah maklumat dari pihak Tentara di Bukittinggi, bahwa tentara mengizinkan Baptist membangunan rumah sakit dengan segala fasilitasnya, termasuk gereja, di atas tanah milik militer. Jelas sekali bahwa Baptist yang dipimpin oleh warga negara Amerika itu telah mengadu domba Kementerian Agama dan militer.

Di Pulau Banyak. Sudah puluhan tahun orang Aceh di Pulau Banyak dan orang Nias di Pulau Nias hidup berdampingan secara damai. Banyak orang Nias yang beragama Kristen datang ke Pulau Banyak, mencari penghidupan di sana. Dan tidak ada gangu mengganggu.

Namun, program zending dan misi mengacaukan kedamaian itu. Akibatnya, kedatangan mereka menjadi agresif. Mereka menyerbu wilayah Pulau Banyak dan memaksakan kehendak untuk mendirikan gereja di atas tanah umat Islam yang jumlahnya 90% itu. Mereka seakan-akan menjadi tuan di pulau itu.

Ulama Besar Aceh, Teungku Daud Beureueh lalu menegur cara curang mereka. Kemudian ributlah surat-surat kabar Kristen memutar-balikkan duduk persoalan. Mereka kampanye bahwa orang-orang Aceh mengusir orang-orang Kristen dari Aceh.  Di Ambon, kaum Kristen leluasa membakar kedai-kedai dan toko-toko orang Islam.  Di Flores, beberapa pemimpin dan pemuka Islam hilang. (Buya Hamka, 2002, Dari Hati ke Hati Tentang:Agama,Sosial-Budaya, Politik).

Ketegangan juga terjadi di pemerintahan. Menghadapi wabah kristenisasi tadi, pada tanggal 30 November 1967, Presiden Soeharto mengadakan musyawarah antar golongan agama untuk menciptakan kerukunan antar umat beragama. Musyawarah dihadiri oleh perwakilan Islam, Katolik, Protestan, Hindu, dan Buddha (Hussein Umar,  1991, Fakta dan Data Usaha-usaha Kristenisasi di Indonesia).

Musyawarah itu, menurut Hussein Umar, boleh dikatakan gagal karena tidak mencapai perumusan yang diharapkan. Di dalam konsep Pernyataan Bersama yang telah diajukan oleh Menteri Agama KH. Moh. Dahlan, pihak Kristen (Katolik dan Protestan) sangat keras  menolak satu klausul  yang paling menentukan bagi terwujudnya kerukunan umat beragama apabila dapat disepakati. Klausul yang ditolak pihak Kristen itu berbunyi, “…. tidak menjadikan umat telah beragama sebagai sarana penyebaran agama masing-masing.” Sementara pihak Islam, Hindu, dan Buddha menyetujui konsep yang dikutip dari pidato Presiden Soeharto itu (Hussein Umar,  1991, Fakta dan Data Usaha-usaha Kristenisasi di Indonesia).

Pihak Kristen dengan terus terang mengatakan penyebaran agama Nasrani kepada orang Islam adalah sebagai missi suci. Tokoh Masyumi M. Natsir yang turut hadir dalam musyawarah itu kemudian menyatakan bahwa bagi umat Islam, dakwah Islam juga suatu missi yang suci;

“Kalau orang Kristen karena missinya tak mau tunduk aturan, kami pun boleh melakukannya. Kalau kami mati untuk itu, kami syahid, akan tetapi negara dan bangsa Indonesia akan hancur,” tangkis mantan perdana menteri Indonesia itu (M.Natsir, 1969, Islam dan Kristen di Indonesia).

Karena musyawarah tak bisa diteruskan. Akhirnya Menteri Agama Alamsyah berdasarkan pada seruan Presiden Soeharto itu, mengeluarkan dua buah Surat Keputusan yang bernomor 70 dan 77. Kedua surat keputusan menteri agama itu berisi peraturan penyebaran agama. Masing-masing orang tidak boleh dengan secara leluasa memurtadkan orang dari agama yang telah dianutnya apalagi  dengan bujukan uang dan beras. Tidak boleh pula ada bantuan luar negeri kepada badan-badan agama, kecuali dengan izin pemerintah. Surat keputusan menteri agama itu disetujui oleh Presiden Soeharto dan anggota-anggota kabinet seluruhnya. Namun lagi-lagi  pihak Kristen menentangnya dengan keras. Betapa konsistennya sikap mereka apabila berhadapan dengan situasi yang mengurangi eksistensinya.

Semua organisasi Kristen mengeluarkan bantahan. Dewan Tertinggi Gereja Katholik dan Protestan mengeluarkan buku putih menuduh Menteri Agama Alamsyah melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Koran-koran mereka setiap hari melancarkan kritik kepada menteri agama. Meskipun demikian pemerintah Indonesia, terutama Soeharto sendiri menyatakan bahwa surat keputusan menteri agama itu juga keputusan pemerintah.

Mendengar keputusan pemerintah itu, orang Kristen dan Katholik untuk sementara waktu berdiam diri. Akan tetapi dengan secara rahasia mereka mengatur siasat. Mereka memanggil ahli-ahli hukum Kristen untuk menyusun konsep menuntut Menteri Agama Alamsyah ke muka mahkamah. Kemudian mereka mengadakan kampanye secara besar-besaran menyambut hari “Hak Asasi Manusia” yang jatuh setiap tanggal 10 Desember.

Menurut pihak Kristen, Menteri Agama Alamsjah telah melanggar HAM. Puncak dari kampanye menentang agama itu pada waktu hari Natal saat itu (Buya Hamka, 2003, Umat Islam Menghadapi Tantangan Kristenisasi dan Sekularisasi).

Setahun kemudian, pada tahun 1968, dalam pidato di muka DPR-GR, Soeharto sekali lagi memberikan peringatan. Soeharto menegaskan;

” Oleh karena itu praktik-praktik penyebaran agama dengan paksaan atau tipu daya adalah bertentangan dengan ajaran agama itu sendiri. Orang yang merasakan bahwa agamanya terdesak, sebenarnya orang yang lemah imannya dan kurang mengamalkan ajaran agama itu sebaik-baiknya.” (Buya Hamka, 2002, Dari Hati ke Hati Tentang:Agama,Sosial-Budaya, Politik). *

DEMI menjaga stabilitas antar umat Islam dan Kristen, muncul perintah  yang menggelikan dari beberapa orang Kepala Jawatan dan juga beberapa orang Menteri Kabinet Pembangunan, yaitu menyatukan peringatan hari lebaran idul fitri dan natal menjadi lebaran natal.

Seperti diketahui, tahun 1968 adalah tahun yang unik di Indonesia. Sebab umat Islam berhari raya idul fitri sampai dua kali, yaitu 1 Januari dan 21 Desember 1968. Secara panjang lebar, Buya Hamka menceritakan dan menanggapi situasi saat itu:

“Dalam sambutan peringatan hari lebaran natal itu, Kepala Jawatan atau Menteri, atau Jenderal menyampaikan demi kesaktian Pancasila yang wajib kita amalkan dan amankan dalam lebaran natal ini, kita menanamkan dalam hati kita sedalam-dalamnya tentang arti toleransi. Dan diaturlah acara mula-mula membaca Al-Qur’an oleh seorang pegawai yang pandai mengaji.

Kemudian diiringi oleh seorang pendeta atau Pastor yang sengaja diundang, dengan membacakan ayat-ayat injil, terutama yang berkenaan dengan kelahiran ‘Tuhan’ Yesus. Yesus Kristus Juru Selamat Dunia, Anak Alah yang Tunggal, tetapi dia sendiri adalah Alah Bapak juga, menjelma ke dalam tubuh Santa Maria yang suci, untuk kemudian lahir sebagai manusia.

Tentu saja yang lebih banyak hadir dalam pertemuan lebaran natal itu adalah orang-orang Islam daripada orang-orang Kristen. Orang Islam diharuskan mendengarkan dengan penuh khusyu’ bahwa Tuhan Alah beranak, dan Yesus ialah Alah. Sebagaimana tadi orang-orang Kristen disuruh mendengar tentang Nabi Muhammad SAW dengan tenang. Padahal mereka diajarkan oleh pendetanya bahwa Nabi Muhammad bukanlah Nabi, melainkan penjahat. Dan Al-Qur’an bukanlah kitab suci, melankan buku karangan Muhammad saja.

Kedua belah pihak, baik orang Kristen yang disuruh tafakur mendengarkan Al-Qur’an, atau orang Islam yang disuruh mendengarkan bahwa Tuhan Alah itu ialah satu ditambah dua sama dengan satu, semuanya disuruh mendengarkan hal-hal yang tidak mereka percayai dan tidak dapat mereka terima. Kemudian datanglah komentar dari protokol, bahwa semuanya itulah yang bernama toleransi, demi kesaktian Pancasila!

Dan sebagai penutup disuruh kemuka seorang Kyai membaca do’a, seluruh hadirin yang Islam membaca amin. Pihak Kristen duduk berdiam diri, dan kita tahu apa yang terasa dalam hatinya, yaitu muak dan mual. Kemudian naik pula yang pendeta menyebut do’a-do’a hari natal. Dan semua orang Islam berdiam diri saja, dan kita pun tahu apa yang ada dalam hati mereka.

Pada hakikatnya, mereka itu tidak ada yang toleransi. Mereka kedua belah pihak menekan perasaan, mendengarkan ucapan-ucapan yang dimuntahkan oleh telinga mereka. Jiwa, raga, hati, sanubari, dan otak, tidak bisa menerima. Kalau keterangan orang Islam bahwa Nabi Muhammad SAW adalah Nabi akhir zaman, penutup sekalian Rasul. Jiwa raga orang Kristen akan mengatakan bahwa keteragan orang Islam ini harus ditolak, sebab kalau tidak diterima kita tidak Kristen lagi. Dalam hal kepercayaan tidak ada toleransi.

Sementara sang Pastor dan Pendeta menerangkan dosa waris Nabi Adam, ditebus oleh Yesus Kristus di atas kayu palang, dan manusia ini dilahirkan dalam dosa, dan jalan selamat hanya percaya dan cinta dalam Yesus. Telinga orang islam muntah mendengarkan.

Bertambah mendalam orang-orang beragama itu meyakini agamanya, bertambah muntah telinganya mendengarkan kepercayaan-kepercayaan yang bertentangan dengan pokok akidah agamanya.

Pimpinan Pusat Ikatan Pemuda Muhammadiyah sudah menjelaskan bahwa do’a bersama dalam hari-hari peringatan, tidaklah dibolehkan dalam ajaran Islam. Do’a demikian pun tidak akan dapat diterima karena do’a adalah ibadah dan ada sendiri ketentuannya. Orang Islam meminta kepada Tuhan Allah yang satu, yang tidak ada syarikat bagi-Nya. Sedankan Pastor dan Pendeta akan berdo’a kepada Alah Bapak, Alah Putera, dan Alah Roh Kudus.

Semangat toleransi yang sejati dan logis ialah ketika orang Islam berdo’a, orang Kristen meninggalkan tempat berkumpul. Dan ketika Pastor berdo’a kepada Tiga Tuhan, orang Islam keluar.” (Buya Hamka, 2002, Dari Hati ke Hati Tentang:Agama,Sosial-Budaya, Politik).

Dalam sebuah khutbah Jum’at di Masjid Agung Al-Azhar, Buya Hamka mengingatkan dengan lantang,” Haram hukumnya bahkan kafir bila ada orang Islam menghadiri upacara natal. Natal adalah kepercayaan orang Kristen yang memperingati hari lahir anak Tuhan. Itu adalah aqidah mereka. Kalau ada orang Islam yang turut menghadirinya, berarti dia melakukan perbuatan yang tergolong musyrik. Ingat, dan katakan pada kawan-kawan yang tidak hadir di sini. Itulah aqidah tauhid kita,” tegasnya dengan suara lantang (Rusydi Hamka, 1981, Pribadi dan Martabat Buya Prof.Dr. Hamka).

Itulah sikap Buya Hamka mengenai acara lebaran natal bersama ini, yang berlanjut menjadi fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI). Buya Hamka yang ketika itu menjadi Ketua MUI, memutuskan bahwa haram hukumnya umat Islam merayakan natal.

Mendengar fatwa ini, pemerintah melalui Menteri Agama Alamsyah lalu meminta supaya fatwa itu dicabut. Namun Buya Hamka memilih meletakkan jabatannya sebagai Ketua MUI. Bagaimana sebenarnya Buya Hamka menghadapi permintaan pemerintah sampai akhirnya mengundurkan diri sebagai Ketua MUI?

Berikut penuturan anaknya, Rusydi Hamka:

“Setelah ayah bersama pimpinan harian MUI menghadiri pertemuan dengan Menteri Agama Alamsyah di Departemen Agama, baju kaos Ayah agak basah karena keringat dan wajahnya tampak murung. Berceritalah dia tentang kehebohan fatwa MUI.

‘Ada ketegangan antara MUI dengan Menteri Agama, tapi tadi bisa didinginkan… Tampaknya MUI akan sulit mengeluarkan fatwa-fatwa lagi nanti.’

Tiba-tiba saat kami sedang berbicara, Sekretaris Harian MUI Mas’udi masuk. Setelah duduk mendengarkan cerita ayah dan saya, Mas’udi dengan wajah sedih bercerita bahwa dia telah menerima surat keputusan, dia ditarik dari kedudukannya sebagai sekretaris MUI gara-gara menyiarkan fakta itu.

Ayah terkejut mendengarnya. Setelah melihat surat itu, dia lalu menyuruh saya membacanya keras-keras. Tiba-tiba ayah berdiri, mengambil telepon minta bicara dengan Menteri Agama. Jawabannya beliau tidak ada di tempat.

‘Kalau begitu saya mau bicara dengan Sekjen,’ ujar ayah lagi.

Setelah menunggu beberapa saat, telepon pun tersambung dengan Pak Sekjen Ali Siregar. Saya tak tahu apa jawanban dari Sekjen Departemen Agama itu di seberang sana, yang saya dengar ialah suara ayah karena saya berada di situ.

‘Saudara kan tahu, soalnya sudah selesai, saya sudah bilang tadi kepada Menteri bahwa beredarnya fatwa itu adalah tanggung jawab saya. Dan saya pun sudah menyatakan bahwa sayalah yang menerima akibat peredaran itu.’

Telepon diletakkan dengan keras, lalu ayah kembali ke tempat duduknya dengan menggelengkan kepalanya.

‘Apa jawabannya?’tanya saya

‘Perintah dari atas.’

Menyusul Pak Hasan Basri masuk ruangan. Merek masih menceritakan pertemuan dengan Menteri dan soal Mas’udi. Ayah dengan suara mantap berkata ‘Hati saya sudah patah.’

Kemudian Ayah mengalihkan pembicaraan. Dia menyuruh saya jam itu menemui Duta Besar Irak. ‘Bilang padanya supaya undangan ke Irak diundur bulan depan. Tiketnya dibatalkan saja. Kalau dia bertanya alasan pengunduran, bilang saja ayah sakit,’ Saya pun berangkat mengikuti perintahnya.

Hari-hari berikutnya saya membaca pernyataan Majelis Ulama yang ditandatangani oleh Ayah sebagai Ketua Umumnya dengan Sekretaris Jenderal Burhani Tjokrohandoko yang mencabut beredarnya fatwa Majelis Ulama soal natal itu.

Tapi besoknya saya disuruh mengantar release yang dibuat atas nama pribadi ayah sendiri ke koran-koran , isinya menegaskan bahwa pencabutan itu tidak berarti bahwa fatwa itu batal. Fatwa itu sah, yang dicabut hanyalah peredarannya.

Tanggal 18 Mei 1981, ketika saya sedang bekerja di kantor Panji Masyarakat. Ayah menelpon menyuruh saya datang. Sehari sebelumnya ayah baru kembali dari Medan. Saya kira bakal ada oleh-oleh dari Medan untuk cucu-cucunya. Tapi saya dapati ayah  sedang duduk menghadapi mesin tiknya. Dia tersenyum ke arah saya, ‘Ayah sudah mengambil keputusan.’

Saya tahu keputusan itu ialah yang menyangkut Majelis Ulama, tapi saya belum tahu bagaimana cara yang bakal di tempuhnya.

‘Sebentar lagi ada rapat pimpinan harian di kantor Majelis yang baru di Istiqlal. Inilah rapat pertama di kantor itu dan ini pula pertama kali ayah melihat kantor itu. Tapi kedatangan ayah ke sana juga untuk terakhir kalinya,’ ujarnya dengan wajah berseri-seri.

‘Jadi ayah sudah berhenti?’ tanya saya mengingatkan saran-saran yang melarang dia berhenti.

‘Soalnya sudah lain, sadang lamak beranti (sedang enak berhenti),’ katanya dengan nada humor. Tapi jelas dari wajahnya bahwa dia merasakan bahagia pagi itu. Saya tak dapat menahan haru, lalu saya merangkulnya. Saya menangisinya dan ayah menenangkan saya. Setelah menuntun tangannya ke kursi, ayah bercerita tentang Imam Malik pada saya.

Saya kembali ke meja tulis membaca selembar surat di atas meja yang baru saja selesai dikarangnya. Dan ayah sudah siap hendak ke Masjid Istiqlal membawa dan akan membacakan surat itu. Inilah bunyinya:

Bismillahir Rahmaanir Rahim

  1. Menteri Agama H.Alamsyah dalam pertemuan dengan Majelis Ulama Indonesia tanggal 23 April 1981 yang lalu telah menyatakan kecaman atas tersiarnya fatwa MUI. Dalam kecamannya itu H. Alamsyah telah menunjukkan kemarahannya dan menyatakan ingin mengundurkan diri dudukannya sebagai Menteri Agama.
  2. Menjawab ucapan-ucapan Menteri, maka saya mengatakan:Bukan Beliau, tapi sayalah yang lebih patut meletakkan jabatan sebagai Ketua MUI. Dan saya bertanggung jawab atas tersiarnya Fatwa yang membuat Menteri Agama mau mengundurkan diri itu.
  3. Karena anggapan bahwa Majelis Ulama masih diperlukan adanya di Indonesia dan demi mengamankan kehidupannya setelah keberhentian saya, maka saya pun  menandatangani surat Keputusan Pencabutan peredaran itu dengan pengertian bahwa nilai Fatwa itu tetap shah sebagaimana yang telah diputuskan oleh Majelis Ulama Komisi Fatwa.
  4. Saya merasa perlu menyiarkan pernyataan pribadi akan shahnya isi Fatwa tersebut, sebagaimana telah dimuat oleh sementara surat-surat kabar. Namun demikian saya berharap pula kerja sama yang lebih baik antara ulama dan umara untuk masa-masa yang akan datang, terutama melalui pimpinan Majelis Ulama setelah saya meletakkan jabatan.
  5. Dengan ini saya meletakkan jabatan saya sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia di hadapan rapat ini, karena saudara-saudaralah yang memilih saya melalui Munas MUI tahun 1980 yang lalu. Terimakasih.

Jakarta, 18 Mei 1981

(Hamka)

Akhirnya fatwa itu menjadi sebuah ketok palu yang menghantam runyamnya hubungan Islam dan Kristen yang sudah bertumpuk-tumpuk masalahnya. Sudah menjadi tugas seorang ulama untuk membimbing umat Islam agar tak terjerumus ke dalam lubang kerancuan atas nama toleransi.

Enam tahun sebelumnya, tepatnya 27 Juli 1975, di Gedung Sasono langen Budoyo, Taman Mini Indonesia, saat Buya Hamka dilantik menjadi Ketua MUI, beliau berkata,

“Kami ini bagaikan kue bika, dibakar antara dua bara api yang panas, di atas pemerintah dan di bawah umat.”(Rusydi Hamka, 1981, Pribadi dan Martabat Buya Prof.Dr. Hamka).

Kue bika itu begitu teguh berjuang. Alangkah  bebas dan merdeka jiwanyaBetapa mantap pada diri sendiri dan yakin pada jalan hidup yang telah dipilihnya. Sungguh tak bersyukur bila kini kita khianati fatwanya.*

Penulis adalah Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)

Sumber : hidayatullah.com

About Ahmed

maju terus pantang mundur! aku mah gitu orangnya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Scroll To Top