Don't Miss
Home / Pemikiran Islam / Memata-matai Buya Hamka
Memata-matai Buya Hamka

Memata-matai Buya Hamka

 Selasa dan Kamis. Saban dua hari ini Buya Hamka menyampaikan perkuliahan di IAIN Syarif Hidayatullah, Ciputat (kini masuk Provinsi Banten). Jadwal ini masih dijalani hingga Oktober 1963. Namun, pada bulan itu pula lah perkuliahan yang diberikannya di kelas berujung pemenjaraan dirinya.

Pada hari dan tanggal yang tidak diingatnya persis kala bulan itu, Hamka berceramah di hadapan tak lebih dari 10 mahasiswa.

“Saya ini malang sekali, sebab tidak mau masuk NU. Kalau saya mau masuk NU, tentu saya sudah mendapat gelar profesor,” buka Hamka dalam mengawali perkuliahannya. Bagi yang paham sosok Hamka, kalimatnya ini tentu saja mudah dipahami sebatas canda penyegar suasana di kelas. Jadi, jauh dari tendensi satir politik apalagi sindiran bermuatan hasad.

Terlepas dari soal kelakar khas dosen pada mahasiswanya, masa itu Nahdlatul Ulama secara kelembagaan memang berada pada posisi yang dekat dengan kekuasaan. Sebagai organisasi massa yang juga sekaligus partai politik, NU berada pada gerbong pendukung gagasan NASAKOM Presiden Sukarno. Meski Muhammadiyah juga mendapat tempat di hati Sukarno (sehingga Panglima Besar Revolusi ini didapuk sebagai Pengayom Agung Muhammadiyah), ada syubhat yang patut diingat, yakni mayoritas anggota persyarikatan tempat Hamka berkiprah ini dikenal sebagai pemilih loyal Masyumi. Ini problem tersendiri yang tidak serta-merta dihapus dari benak Sukarno dan para pendukung NASAKOM.

Masyumi yang dibubarkan Sukarno pada 17 Agustus 1960, bagaimanapun juga, masih dianggap jadi ancaman laten, terlebih anggota dan simpatisannya bertebaran di pelbagai tempat strategis seperti Muhammadiyah. Kondisi berbeda dengan NU, yang jauh-jauh hari membuat ijtihad politik untuk merapat dan mendukung Sukarno. Konsekuensi sebagai pendukung penguasa adalah kans diperolehnya keuntungan, yang bisa jadi di antaranya cepatnya pemberian gelar profesor sebagaimana disebutkan Hamka.

Masih di ruang perkuliahan, Hamka menyelipkan nasihat kepada para mahasiswa itu selaku generasi muda Islam. Nasihatnya bukan sebentuk kelakar, melainkan pesan penting dari generasi lama bagi para juniornya.

“Langkah-langkah yang ditempuh oleh angkatan terdahulu sudah gagal. Abdul Kahar Muzakkar dan Daud Beureueh, DI dan TII, semuanya telah gagal,” ujar Hamka. “Oleh sebab itu,” lanjut Hamka menerangkan, “hendaklah kamu mahasiswa menempuh jalan dan cara yang baru, supaya jangan gagal sebagaimana mereka pula.”

Hamka memuji langkah yang diambil HMI di bawah kepemimpinan Sulastomo untuk mendukung program-program pemerintah. Demikian pula, tak lupa organisasinya di bawah ketua umum K.H. Ahmad Badawi disebut-sebut Hamka sebagai teladan karena konsisten menjalankan hasil putusan Muktamar ke-35 pada 1962 tentang Kepribadian Muhammadiyah.

Butir Kepribadian bagi sifat amal usaha Muhammadiyah di antaranya adalah “Bekerja sama dengan segala golongan serta membantu Pemerintah dalam membangun Negara untuk mencapai Masyarakat yang Adil dan Makmur, yang diridhai Allah.”

Maksud ucapan Hamka sebenarnya cukup jelas. “Dekati dan bekerja samalah dengan pemerintah, dan jangan menentang pemerintah,” jelasnya bercerita secara tertulis kepada anak-anaknya, yang kelak dibukukan dalam Pribadi dan Martabat Buya Prof. Dr. Hamka (1981). Hamka mengaku, dua pentolan HMI—yakni Sulastomo dan Mar’ie Muhammad—dinasihatinya pesan serupa. Persis, tanpa membubuhkan misi jahat apa pun. Sama halnya ketika Hamka memberikan pesan yang sama dalam pengajian di hadapan jamaah Masjid Al Azhar Jakarta.

Usai Hamka memberikan perkuliahan, salah seorang mahasiswa di kelasnya buru-buru keluar. Mahasiswa bergegas pulang jamak saja; bukan hal yang patut dicurigai. Wajar bila Hamka tak begitu terkesan atau merasa perlu untuk berprasangka.

Bahkan tatkala seorang mahasiswa yang masih berada di kelas membisiki Hamka untuk berwaspada, ia bergeming. Oknum yang pulang pertama tadi, kata si mahasiswa, adalah anggota sebuah organisasi kemahasiswaan Islam yang “induknya” pendukung NASAKOM.

Hamka tampaknya tidak menyangka lebih jauh mahasiswa yang juga oknum aktivis kelompok “sebelah” sengaja hadir bukan semata-mata mendengarkan paparan keilmuannya. Kelak setelah  ditahan pada 27 Januari 1964 kemudian pada hari-hari berikutnya diinterogasi, ia mampu mengaitkan benang merah pertanyaan aparat kepolisian dengan keberadaan sang oknum mahasiswa mata-mata.

Ketika di ruang interogasi, Hamka ditanya beberapa kali, “Apa kuliah yang diberikannya sewaktu di IAIN Ciputat?” Jawaban Hamka atas pertanyaan ini bagi aparat penyelidik memang begitu amat sangat penting.

Rupa-rupanya nasihat-nasihat Hamka di kelas itu dipenggal dan diartikan amat berbeda oleh oknum mahasiswa mata-mata. “Langkah-langkah yang ditempuh oleh angkatan terdahulu sudah gagal. Abdulkahhar Muzakkar dan Daud Beureueh, DI dan TII, semuanya telah gagal. Oleh sebab itu, hendaklah kamu mahasiswa menempuh jalan dan cara yang baru, supaya jangan gagal sebagaimana mereka pula.”

Frasa “supaya jangan gagal sebagaimana mereka pula” diartikannya anjuran, bahkan provokasi, Hamka kepada mahasiswa untuk tidak boleh lagi gagal manakala melawan pemerintah, sebagaimana nama-nama atau gerakan yang disebutkan! Ini berkebalikan 180 derajat dengan maksud dan pesan Hamka kepada para mahasiswa di kelasnya. Apa boleh buat, laporan si oknum mahasiswa mata-mata tadi kadung dipercaya dan sepertinya dipaksakan harus benar untuk membuikan Hamka.

Agak payahkah bagi para pembenci Hamka dalam mencari-cari kesalahan hingga harus menggunakan cara licik “menyuruh” oknum mahasiswa organisasi Islam? Cara-cara menjebak dengan tuduhan serampangan juga dialamatkan pada Hamka. Ketika berdakwah di Pontianak, Hamka dituding berpidato mendukung Malaysia dan menentang ajakan Sukarno. Kenyataannya, Hamka malah menganjurkan sebaliknya: ajakan membela tanah air tercinta, Indonesia.

* * *

Keberadaan personal atau beberapa orang, termasuk hingga pengurus teras, kelompok Islam yang tidak menyukai personal ataupun kelompok lain (seperti kasus fitnah pada Buya Hamka di atas) akan terbuka berulang. Persatuan dan ukhuwah antar kelompok Islam sering dikumandangkan. Berkali-kali pula duduk semeja para pimpinan kelompok Islam dilakukan.

Sayangnya, antara yang di lisan dan ditulis media terkadang berbeda kontras dengan kenyataan di balik layar. Masih untung bila yang berkhianat hanya oknum bawahan seperti di kasus mendera Buya Hamka. Bagaimana bila yang terlibat itu malah sistematis dimulai dari elit kelompok? Semoga saja kasus seperti ini tidak terjadi di tubuh kelompok atau organisasi dakwah tanah air.

Dalam banyak babak sejarah kekuasaan Islam, sering kali yang menjadi ganjalan kelangsungan kekuasaan itu malah dari internal umat Islam sendiri. Tepatnya dari lingkaran sekitar kekuasaan berada. Perebutan jabatan hingga akhirnya pelbagai daulah dalam bentangan sejarah kekuasaan Islam beruntuhan satu per satu, bukanlah karena pihak di luar Islam lebih kuat.

Keretakan yang akut selalu hadir di tengah Muslimin sebelum serangan pihak pembenci Islam tepat menghunjam sasaran. Lihat dalam episode jatuhnya Baghdad pada akhir Februari 1258, Khalifah Abbasiyah melengahkan potensi pengkhianatan dari dalam istana sendiri, hingga tragedi dan airmata tak terlukiskan dalam kata yang hadir di catatan sejarah.

Dalam ulasan di karya Dr. Ali Muhammad ash-Shallabi (2016) Sejarah Daulah Umawiyah & Abbasiyah, jatuhnya kedua kekuasaan yang pernah mengharumkan—sekaligus menggetarkan kawan dan lawan—ini akibat perseteruan internal yang melahirkan banyak intrik dan fitnah. Setali juga yang terjadi di Andalusia; lagi-lagi akibat tidak loyalnya sebagian Muslimin pada makna ukhuwah dan memilih saling menikam dengan menghalalkan pelbagai cara.

Pengkhianatan bisa dilakukan oleh siapa saja. Dakwah roboh, fondasi persatuan Muslimin berantakan, disebabkan adanya anasir umat yang bermain dengan selera nafsunya. Belum lagi timbulnya prasangka terhadap kelompok asal si oknum. Seakan-akan tindakannya mewakili aspirasi ataupun sikap kelompok tersebut. Kita juga tak tahu apakah oknum mahasiswa organisasi mahasiswa Islam itu berbuat seperti itu atas dasar bagaimana.

Yang jelas, praktik menyusun “bukti” yang tak lebih fitnah belaka merupakan satu kejahatan tersendiri dalam agama ini. Satu fitnah yang merongrong hingga mempermalukan pewaris Nabi, dan umat pun terugikan.

Mereka yang menelikung dan tak mau tersaingi oleh siapa saja yang dianggap lawan, tidaklah senyap kehadirannya pada zaman sekarang. Mengartikan perbedaan penafsiran dalam taktik politik untuk selanjutnya menjerat mereka melalui delik aduan yang berkubang fitnah keji.

Dalam kasus Buya Hamka, fitnah dari bukti si oknum mahasiswa Islam mendasari tuduhan penulis Sejarah Umat Islam itu sebagai pengkhianat negara dan aktor subversif pembunuhan Presiden dan Menteri Agama! Lamat-lamat, hari ini tudingan melawan ideologi Pancasila dan merobek persatuan juga bertebaran untuk disematkan kepada dahi para dai-dai yang sejatinya mempertahankan persatuan dan kesatuan Republik ini.

Atas nama paling Pancasilais dan mencintai negara, ada saja para oknum yang merasa berhak melakukan tindakan biadab dengan memfitnah pihak lain. Padahal, beberan data versi mereka sebenarnya hanya penafsiran ngawur yang mudah dikoreksi. Sayangnya, data yang meruntuhkan makna persatuan itu malah terkesan dibiarkan aparat penegak hukum; setidaknya pada beberapa kasus yang menyeruak ke publik.

Oleh: Yusuf Maulana *)

______________________________________________________________________
*) Kurator buku lawas Perpustakaan Samben, Yogyakarta; penulis buku “Mufakat Firasat”, dan “Nuun, Berjibaku Mencandu Buku”.

About Ahmed

maju terus pantang mundur! aku mah gitu orangnya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Scroll To Top