Don't Miss
Home / Pemikiran Islam / “MENGAPA UMAT ISLAM TAK BERHASIL”
“MENGAPA UMAT ISLAM TAK BERHASIL”

“MENGAPA UMAT ISLAM TAK BERHASIL”

Oleh: Buya Hamka

Beberapa pemuda mendatangi saya, lalu mengajukan beberapa pertanyaan, yang rupanya menggelora dalam hati, yaitu rasa tidak puas melihat keadaan sekarang. Beberapa keluhan dikemukakan, mereka mengatakan bahwa sejarah menunjukkan dengan nyata yakni ketika negeri ini dijajah Belanda, yang selalu mengangkat senjata, memberontak melawan penjajahan ialah raja-raja dan ulama Islam. Mereka mengemukakan perlawanan Sultan Tirtayasa di Banten terhadap Belanda, di sisinya berdiri seorang ulama pahlawan, yaitu Syaikh Yusuf.

Bahwa Trunojoyo menentang Belanda di Jawa, adalah karena semangat Islam yang besar. Imam Bonjol, Diponegoro, Teungku Cik Ditiro, dan lain-lain, yang terang berjuang karena semangat jihad. Kalau tidak karena berkobarnya semangat Islam, akan lancarlah penjajahan di negeri ini, dan kita telah jadi Kristen semuanya, lalu menjadi boneka dari negeri Barat, sebagaimana Filipina menjadi boneka Spanyol dan Amerika.

Setelah pemuda-pemuda itu mengemukakan beberapa contoh dan menyebutkan beberapa nama, mereka kemukakan pula keberanian ulama-ulama menentang keganasan Jepang biarpun mereka mati syahid diberondong Jepang dengan senjata. Disebutnya nama Kiyai Idris Musthafa di Singaparna, Teungku Abdul Jalil di Lhokseumawe Aceh, lalu disebut-sebutnya pula nama ayah saya, Dr Syaikh Abdul Karim Amrullah, yang sekali-kali tidak mau keirei, bersujud atau ruku’ menghadap istana Kaisar Jepang. Walaupun ia akan dibunuh lantaran itu, sedangkan pemimpin-pemimpin nasional mereka keirei dengan patuhnya.

Kemudian disebutnya pula bagaimana besar pengorbanan umat Islam di zaman revolusi. Bagaimana Allahu Akbar berkumandang di Surabaya, bagaimana barisan Hizbullah yang gagah berani, Legiun Syahid di Sumatra Barat, Barisan Perang Sabil di tanah Jawa. Disebutnya lagi beberapa beberapa pahlawan Islam dan kemerdekaan yang pernah ditulis berturut-turut dalam Panji Masyarakat seperti Kiyai Ghalib di Lampung, Kiyai Mansur di Bukit Duri, Saleh Sungkar di Lombok, Aziz Chan di Padang, Kyai A Halim Majalengka, dan lain-lain.

Kemudian disebutnya pula bagaimana pada mulanya seluruh umat Islam itu bersatu dalam Partai Masyumi, sehingga suatu kabinetpun tidak bisa dibentuk dengan meninggalkan umat Islam.

Tetapi kemudian berangsur-angsur umat Islam itu “berpecah dengan teratur.”

Sehingga dengan perpecahan itu umat Islam tidak kuat lagi. Mereka yang lebih banyak menumpahkan darah dan mengorbankan jiwa di medan perjuangan, pemberontakan dan perang kemerdekaan, tetapi mereka pula yang lebih tersisih, dan cita-citanya tidak dapat ditegakkan. Bahkan dengan berangsur-angsur pula mereka hanya jadi embel-embel. Yang berkuasa ialah komunisme yang bersatu padu dengan nasionalisme ala Soekarno. Kemudian dengan berangsur-angsur pula dalam kalangan Islam timbul yang memberontak melawan negara Republik Indonesia. Setelah itu dengan santer terdengar suara bahwa umat Islam anti Pancasila. Di zaman Soekarno, Masyumi yang merupakan partai Islam terbesar disisihkan, kemudian dibubarkan. Beberapa pemimpinnya turut ‘memberontak’.

Mulanya diberi amnesti, asal segera turun dari gunung dan tidak ditangkap. Tetapi setelah turun dari gunung mereka langsung diamankan, satu istilah baru dari tawanan. Kemudian seluruh pemimpinnya yang terkemuka, ahli-ahli fikirnya, baik yang turut berontak, atau yang berdiam diri di luar, mereka pun ditangkapi dan dimasukkan ke dalam tahanan.

Pemuda itu berkata selanjutnya rezim Soekarno jatuh, sudah terang bahwa pemuka-pemuka Islam yang ditahan itu adalah penentang Soekarno yang berangkulan dengan komunis, mereka (pemuka-pemuka Islam) bukan anti negara Pancasila. Buktinya mereka telah dibebaskan, karena memang tidak ada kesalahan yang patut dituntut. Karena soal ini bukan soal benar dan salah, melainkan soal menang dan kalah. Sesudah para pemimpin itu dibebaskan, pejabat presiden menjelaskan, bahwa hak-hak politik mereka dipulihkan kembali, mereka berhak memilih dan dipilih.

Pemuda-pemuda itu berkata selanjutnya, sekarang telah masuk ke dalam Post Soekarno dan sekarang telah berdiri Orde Baru. Orde Baru adalah sikap mental menentang tumbuhnya Orde Lama, dan Orde Lama adalah gabungan rezim Soekarno dengan PKI. Kata pemuda-pemuda itu selanjutnya: “Kalau kita berfikir rasional, teranglah bahwa Masyumi dan pemimpin-pemimpinnya itu adalah korban dari sikap tegas mereka anti komunis, ketika orang lain tidak berani buka mulut!”

Kalau terjadi dimana-mana pemberontakan, bukanlah orang-orang itu berontak kepada negara, melainkan berontak kepada golongan yang telah menyelewengkan negara dari asas dasarnya. Kalau orang berfikir rasional, patutlah diakui bahwa mereka itu telah menegakkan Orde Baru sebelum Orde Baru berdiri. Dahulu oleh Karena kekuasaan seluruhnya di tanan Soekarno, maka ABRI dikerahkannya menghancurkan segala yang memberontak. Dan pimpinan ABRI sendiri, meskipun dalam hati mereka adalah anti komunis, tetapi demi disiplin ketentaraan, tunduk kepada perintah Panglima Tertinggi, mereka wajib memerangi pemberontak sampai dapat dipatahkan dan dihancurkan.

Teranglah bahwa ABRI itu sendiri, terutama Angkatan Daratnya hendak dihancurkan oleh Gestapu/PKI dengan lebih dahulu membunuhi jenderalnya dan Soekarno memaklumi hal itu. Menurut fikiran yang rasional, sudah sepatutnya orang-orang yang tadinya disisihkan sudah tidak ada lagi, bahkan terang bahwa mereka adalah teman. Terang bahwa kekuatan komunis internasional tidak dapat hanya dihadapi dengan senjata belaka, sebagaimana sulitnya bagi Amerika menghadapi kaum komunis di Vietnam, walaupun kekuatan Amerika 100 kali lipat dari kekuatan Vietnam. Ideologi meski ditangkis dengan ideology, dan ideologi yang ampuh menghadapi komunis hendaklah ideologi yang dinamis pula. Dan di Indonesia sudah terang bahwa ideology Pancasila adalah dasar negara, dan Islam dapat mengisi Pancasila ini dengan pemimpin-pemimpin Islam yang telah dibuktikan bagaimana konsekwen mereka dengan pendirian. Biar dibuang, biar ditahan, bahkan biar mati daripada mengorbankan pendirian atau akidah.

Pemuda itu bertanya kepadaku,” Mengapa setelah Orde Baru pemerintah Jenderal Soeharto tidak mau merehabilitasi Masyumi kembali?”

Kabarnya konon, Partai Muslim Indonesia telah diizinkan berdiri, bahkan diucapkan dalam Pidato Kenegaraan 17 Agustus 1967. Tetapi sudah hampir satu tahun berlalu, sampai sekarang belum juga ada pengakuan atau pengesahan. Bahkan terdengar berita, bahwa di saat-saat pengakuan itu ditunggu Pejabat Presiden Jenderal Soeharto, menyampaikan aspirasi rakyat yang dia pimpin, agar dalam pimpinan Partai Muslimin Indonesia yang akan berdiri itu tidak ada tokoh-tokoh Masyumi.

Kalau partainya tidak akan direhabilitasi kembali, bukankah orang-orangnya telah terang-terang direhabilitasi sesaat setelah mereka dikeluarkan dari tahanan? Mengapa ada lagi larangan mereka tidak boleh masuk?

Kemudian diantara mereka bertanya lagi, ”Begini hebatnya yang kita hadapi sekarang, betapa hebatnya ekspansi Kristen dan Dunia Barat, betapa pula hebatnya gerakan komunis, sampai telah timbul PGRS dan PKI Malam, mengapa pemimpin partai-partai Islam yang diakui yaitu NU, PSII dan Perti tidak membela saudaranya dari “bekas partai terlarang itu” itu dan menonjolkannya pula, supaya segala tenaga dapat dipergunakan menghadapi segala bahaya yang mengancam dari luar, atau kesukaran di dalam, yang sekarang ada? Supaya sama timbul sama tenggelam?

Apakah nasib kita akan sama dengan nasib kaum Kristen Katolik dan Ortodoks Bizantium ketika Konstantinopel akan diserang oleh Turki? Kita bertengkar soal khalifah, sedang musuh telah menguasai negeri kita?

Akhirnya diantara mereka bertanya,”Apa benar politik itu tidak logis? Apa benar pelaksanaan politik itu kadang-kadang irasional, atau tidak menurut akal sehat? Saya termangu-mangu mendengar pertanyaan demikian.

Kalau sekiranya di zaman itu masih seperti zaman Rezim Soeharto, tidaklah saya berani menuliskan pertanyaaan-pertanyaan ini dalam majalah ini, apalagi menuliskan jawaban saya. Karena pada waktu itu, asal ada saja pertanyaan yang mengkritik Soekarno, bisa saja dituduh kontra revolusi, comunisto phobi, subversive. Di zaman itu kalau saya berani menuliskan pertanyaan seperti ini di Surat Kabar, apalagi menjawabnya, sama saja dengan seorang yang “mencari-cari penyakit.”

Malahan ketika mereka mengemukakan pertanyaan itu, hampir saya lupa bahwa sekarang kita tengah membangun Orde Baru. Apalagi saya bekas tahanan sehingga dalam hati saya, mungkin pemuda-pemuda ini anggota intelijen yang mencoba-coba mengorek-ngorek perasaan saya, sehingga tahu-tahu nanti saya dijemput ke rumah, didekam masuk penjara, dituduh dan dibuatkan ftnah.

Syukurlah saya sadar zaman sudah berubah, demokrasi mulai ditegakkan. Sebab itu pertanyaan itu saya jawab, dan saya bertawakkal kepada Tuhan.

Saya berkata,”Saya merasa haru mendengar pertanyaan-pertanyaan kalian.”

Timbulnya pertanyaan-pertanyaan demikian menunjukkan bahwa kesadaran kalian bernegara dan berpolitik telah tumbuh dengan subur. Tidak siapapun yang kuat buat menahannya lagi. Itulah alamat (pertanda) bahwasanya masa depan adalah cerah bagi kita. Bernegara adalah kesadaran dan kemerdekaan adalah tanggungjawab, dan itu wajib tumbuh dalam jiwa angkatan muda.

Jawaban ini akan saya bagi kepada dua bagian, pertama tentang rasa antipati kepada Islam, kedua perpecahan di kalangan Islam.

Jawab Pertama. Apa yang kalian katakan itu adalah benar. Betapapun pasang naik dan pasang turun yang dilalui oleh kaum Muslimin di Indonesia ini. Bahwa umat Islam itu anti penjajahan. Umat Islam anti Belanda. Dan disamping itu umat Islam payah menyisihkan diantara kolonialisme dan kristenisasi.

Belanda yakin bahwa selama kekerasan jiwa Islam itu masih ada, mereka tidak akan bisa menguasai bangsa ini. Bangsa yang ‘liar’ ini mesti dijinakkan. Untuk menjinakkannya ialah melalui pendidikan.

Ahli-ahli kolonial memeras pikiran bagaimana menyusun sistem pendidikan yang baru itu. Prof Snouck Hougronye pernah memberikan advis, supaya semangat itu kendor dan lemah, hendaklah diimbangi pendidikannya mengemukakan kemegahan nenek moyang sebelum Islam masuk kemari. Hendaklah korbankan semangat nasionalisme, tetapi orientasi berfikirnya haruslah diisi dengan “Hollandschdenken”, yaitu berfikir secara orang Belanda berfikir.

Sejak dari tangga pendidikan yang pertama, sekolah dasar hendaklah ditanamkan dasar “Netral Agama”. Pendeknya asal seorang anak telah masuk sekolah hendaklah didinginkan rasa agamanya.

Apabila mereka telah menduduki pendidikan lebih tinggi, hendaklah diajarkan juga agama Islam, secara ‘ilmiah’, tetapi ilmiah itu harus dituntun oleh sarjana Barat sendiri yang bernama kaum orientalis, yang beragama Kristen atau Yahudi, memandang Islam dari luar. Dengan pendidikan itu hendaklah kaum terpelajar tadi merasa bahwasanya dia sekarang telah jadi orang terpelajar. Derajatnya jauh lebih tinggi dari bangsanya. Itu sebabnya maka anak-anak dari pegawai-pegawai yang bekerja dalam lingkungan administrative Belanda didahulukan atau lebih diutamakan dari yang lain, termasuk sekolah.

Dalam didikan itu secara berangsur-angsur dan halus mereka dipisahkan dari agamanya. Meskipun masih ada yang mengaku Islam hanya untuk kawin dan untuk mati saja, namun cara mereka berfikir tidak lagi dalam “Islamic Way of Life”.

Kepada mereka ditonjolkan bahwa orang Islam itu kotor, santrinya santri plutuk dan penuh kudis, kyainya tukang kawin berbini banyak, kolam masjidnya kotor, pakaian hajinya pakaian orang Arab.

Bahwasanya kalau mereka masih Islam, mereka tidak bisa maju. Pahlawan mereka bukan Raden Patah atau Sunan Gunung Jati, melainkan “Hayam Wuruk dan Gajah Mada”, lama-lama merekapun memandang Islam dengan sinis, penuh cemooh. Sehingga berangsurlah berlaku apa yang disarankan oleh Prof Snouck Hougronye : “Bikinlah mereka jadi Belanda di Timur, sebagaimana kita jadi Belanda di Barat.”

Dengan sebab yang demikian, kalangan yang teguh memegang Islam sendiripun jadi antipati kepada segala yang berbau Belanda. Orang Islam yang masih teguh ghirah agamanya tidak mau menyerahkan sekolah anaknya ke Belanda.

Mereka lebih suka mendirikan pondok, belajar pengetahuan Islam yang tinggi ke Mekkah, lalu pulang. Sampai di kampung mendidik anak dalam lingkungan Islam, isolasi dan memisahkan diri, sehingga dengan sendirinya timbullah di negara kita dua golongan terpelajar yang berkiblat ke Amsterdam dan yang berkiblat ke Mekkah. Di antara kedua golongan ini terdapat jurang pemisah yang sangat dalam sekali. Didikan Barat memandang sinis kepada agama, sedangkan didikan surau sekaligus benci kepada yang berbau Barat.

Kalau didikan Belanda memandang Islam dari segi negatifnya, dari segi keadaan Islam di zaman mundurnya, dengan kolam masjidnya yang kotor, dan santrinya yang gudikan, maka yang didikan surau tadipun memandang didikan Barat dengan sinis dari segi negatifnya pula, asal bernama Barat mereka pandang pula dengan sinis. Mereka tidak dapat menyisihkan lagi mana Barat yang bermanfaat dan mana yang hanya gejala buruk.

Akibat perkembangan politik dari luar, timbulnya Perang Dunia II, rasa kebangsaan dan percaya diri sendiri tumbuh pada kedua pihak. Kalangan yang berpendidikan ‘Islam Kuno’ tadi dan kalangan berpendidikan Barat sama-sama mencintai tanah airnya.

Oleh sebab itu setelah terjadi revolusi, mereka dengan sendirinya bersatu, bahkan berpadu. Dan tentu saja di zaman seperti itu, orang-orang yang beragama, yang kuat iman, yang terdidik dengan kalimat syahid, perang sabil, jihad dan sebagainya, berdiri di barisan muka, dan dahulu sekali mati.

Tetapi dalam perkembangan keadaan kemudian, tentu saja mereka tidak sanggup mengatur administrasi negara dan yang sanggup mengatur administrasi negara tentu saja yang telah belajar dari Barat. Bukankah setelah mereka, administrasi pemerintahan ialah yang kita pusakai (warisi) dari Belanda?

Bukankah di tengah hangatnya revolusi tenaga orang sebagai kiyai Khatib dan Kiyai Syam’un diperlukan di Banten, sebab seluruh penduduknya taat dan disebut fanatik Islam? Untuk menjaga revolusi jangan terganggu kiyai kiyai dijadikan Residen atau Bupati, Wedana atau Camat? Dan setelah kiyai kiyai itu tidak diperlukan lagi, mereka pun segera diistirahatkan.

Bukankah di tengah menghebatnya revolusi, tenaga Teungku Daud Beureuh, sangat diperlukan di Aceh, dan setelah revolusi selesai beliau tercampak, malah pernah digeledah rumahnya dan dihinakan, sehingga menyebabkan beliau memberontak pada pemerintah?

Setelah revolusi bersenjata tidak ada lagi, kedaulatan telah diakui, bertambah santerlah suara bahwa kaum agama itu fanatik, kaum agama itu tidak bisa memegang pemerintahan. Tiap kabinet naik, tiap timbul krisis baru.

Dan isi sebenarnya dari pertentangan hebat itu tidaklah lain ialah latar belakang cara berfikir. Sudah tertanam dalam bawah sadar orang didikan Barat bahwa kaum agama itu tidak bisa mengatur negara. Dan dalam kalangan yang berjuang dengan ideologi Islam itu, setengahnya ada yang timbul rasa rendah diri lalu menonjolkan diri bahwa dia bisa, lalu timbullah kadang-kadang gejala yang lucu, timbullah malu bersurban dan bersarung. Musti pandai berdasi dan berpantalon.

Adalah satu kenyataan bahwa kaum yang berideologi Islam itu tidak bisa ditinggalkan. Pengikutnya banyak, dalam pemilihan umum mereka menang. Tetapi ideologi mereka sudah terang tidak sesuai dengan berfikir secara Barat, secara yang diajarkan Belanda. Sebab itu mereka akan dibawa dan akan dapat dipandang sebagai teman, kalau saja mereka simpan Islam dalam hati dan turuti kemauan fikiran ala Barat.

Timbulnya dua front yang sama kuat dalam Majelis Konstituante hasil Pemilihan Umum tahun 1955, pihak-pihak yang berlatar belakang kepada dua aliran fikiran ini. Dan gagalnya Konstituante adalah hal yang sudah logis. Yang ditanam oleh Belanda atau akibat dari penjajahan telah terbayang pada masa itu. Jurang yang dalam, memisahkan diantara dua fikiran itu tidaklah dapat didamaikan.

Meskipun diantara Komunis dan Kristen bertentangan, diantara Nasionalis dan Sosialis tidak sepaham, namun dalam menghadapi yang memperjuangkan Islam ini mereka bersatu ‘idza wajahul Islama ittahadu’ (jika menghadapi Islam mereka bersatu). Inilah keadaan dan inilah kenyataan yang kalian hadapi sekarang, Hai Angkatan Muda.

Para pemimpin Islam memang kuat semangat, kuat cita-cita, tetapi mereka tidak ada daya, kecuali jika mereka belajar pula susunan pemerintahan dan modernisasi cara Barat. Dan orang yang dari kecil mendapat didikan Barat, tidaklah sama perasaan mereka terhadap agama, dengan orang yang mendapat didikan dan suasana agama sejak kecil.

Padahal kelas atau golongan yang menguasai negara sekarang ini, tidak dapat tidak, adalah didikan Barat. Meskipun Orde Lama telah runtuh dan Orde Baru sedang bangkit, namun dalam soal pangkalan berfikir ini belumlah ada perubahannya. Selama orangnya itu ke itu juga. Selama mereka masih tetap mereka dan kita masih tetap kita.

Saya misalkan kepada diri saya sendiri. Saya adalah didikan surau, meskipun saya sudah memakai pantalon dan dasi, namun baru saja duduk di kursi lima menit, dengan tidak saya sadari saya sudah duduk bersila. Dan walaupun sudah 22 tahun dianjurkan supaya bercakap hendaklah dalam bahasa Indonesia, namun kaum terpelajar kita, baik di zaman Soekarno dahulu, atau di zaman Soeharto sekarang, masih lebih puas menyatakan apa yang terasa di hatinya dalam bahasa Belanda.

Pemimpin-pemimpin Islam yang ada sekarang sudah mulai lanjut usianya. Saya sendiri telah mencapai 60 tahun. Demikian juga Natsir, Syafrudin, Roem, Kiyai Masykur, dan lain-lain, atau Muhammad Hatta sendiri. Kami menyadari itu, tetapi kami adalah hasil dari zaman lampau, atau akibat dari zaman lampau, kamulah yang harus mengatasi ini. Dan kamipun insyaf bahwa hal ini memakan waktu.

Menunggu datangnya masa penimbunan jurang pemisah tadi. Sebab penjajahan tidak ada lagi. Kita memerlukan agama sebagai dasar kekuatan kita. Kita memerlukan ilmu yang dari Barat untuk mengatur negara kita.

Rasanya hal ini lama kalau kita ukur dengan usia kita. Tetapi hal ini pada hakikatnya adalah cepat, karena perubahan nasib bangsa ditentukan oleh pergantian generasi. Sebab itu tidak dapat saya terima perkataan salah seorang kamu, yang mengatakan politik itu kadang-kadang tidak logis dan irasional. Bahkan segala kejadian ini adalah logis, adalah rasional dan adalah kenyataan. ||

Sumber : Buya Hamka, ‘Dari Hati ke Hati’, Pustaka Panjimas, 2005, Jakarta //wartapilihan

About Ahmed

maju terus pantang mundur! aku mah gitu orangnya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Scroll To Top